Si Tompel Naik Haji
Azan subuh berkumandang, ayam tetangga ku
berkokok. Saat itu pula aku terbangun. Bangun pagi sudah kebiasaan ku, karna
setiap paginya aku mengantarkan anak-anak kampung tempat tinggalku ke sekolah
yang lumayan jauh dari kampung. Uang yang ku dapat bisa untuk makan pagi
keluarga ku. Aku bekerja di istana presiden, tidak hanya aku yang bangga
terhadap diriku, bahkan orang kampungku juga bangga terhadap ku. Orang kampung
beranggapan aku bekerja sebagai mentri, mentri tukang parker. “ujarku”. Setiap
pulang bekerja, ada saja orang yang menertawakan ku, aku hanya bisa tersenyum,
dan berpikiran positif, mungkin nasib mereka yang menertawakan tidak
seberuntung nasib ku.”ucapku”. Peluit kecil yang tergantung di leherku, dan
topi yang berlambangkan burung garuda yang dapat mempertemukan ku dengan
presiden dan pejabat Negara lainnya.
Aku yang hanya berijazah sekolah menengah
pertama, harus berjuang untuk membiayai hidup keluarga ku sehari-hari. Usiaku
yang masih 18 tahun sudah menjadi tulang punggung keluarga, orang tuaku yang
terbaring ditempat tidur, karna penyakit stroke yang sudah bertahun-tahun
dialaminya. Adikku sudah putus sekolah sejak duduk dibangku kelas empat sekolah
dasar. Biaya sekolah dan berobat yang begitu banyak, membuat ku hanya bisa
berdo’a dan berusaha. Adikku yang masih kecil, belum pantas rasanya untuk
mencari uang, cukup aku saja yang mencari uang, adikku bisa menjaga orang tua
yang lagi sakit. Sebagian orang banyak menghinaku, mungkin karna tompel besar
yang melekat di pipi kanan ku, aku selalu beranggapan positif, terkadang dengan
hinaan mereka aku hanya bisa tersenyum, candaan dan cemoohan mereka penyemangat
untuk berjuang betapa kerasnya hidup ku ini. Ada pula orang yang peduli terhadap
hidupku, dia adalah Monica, penyemangat hidup bagiku. Dia selalu mengantar
makanan kerumah ku. Hanya dia yang mengerti kerasnya hidup ku ini. Ingin sekali
aku membalas jasa monica, tetapi apa daya. Hidupku yang pas-pasan, hanya
sececeran harapan lewat do’a yang bisa ku beri ke Monica. Gajiku yang setiap
bulan, layak pejabat lainnya, susah bagiku, hanya uang hasil mengantarkan
anak-anak ke sekolah yang membantu perut keluarga ku seharian. Terkadang kami
tidak bisa tidur malamnya karna perut lapar, hembusan angin malam yang memaksa
mata untuk tidur.
Aku terus bekerja dan bekerja, tiada
kata gengsi dalam hidup ini. Apapun mau aku lakukan asalkan menghasilkan uang
yang halal. Dalam sujudku selalu berdo’a, suatu saat aku ingin membalas jasa
kedua orang tuaku, aku yakin dengan peluit kecil dan topi yang kukenakan
sehari-hari bisa mengantarkan aku dan orang tuaku bersujud didepan ka’bah.
Tahun- demi tahun telah berganti,
presiden telah habis masa jabatannya, berganti dengan presiden yang baru terpilih.
Semua pejabat Negara berganti, hanya aku, satpam, dan tukang kebun istana
Negara yang belum habis masa jabatannya.”candaku”. Suatu hhari terjadi kejadian
yang tak pernah ku hingga, kebakaran yang melanda istana presiden membuat semua
orang berhamburan keluar. Mobil pemadam kebakaran yang telah dihubungi belum
kunjung datang. Aku melihat serumbuan orang berkumpul rame didepan pintu
istana, lalu aku daatang kesana, ‘ada apa pak, disini berbahaya ?’ “tanyaku”,
bapak presiden masih didalam”jawabnya”, bahaya pak, biar saya tolong (dengan
bergegas tanpa mempedulikan api yang panas, aku langsung berlari dan
menyelamatkan pak presiden). Dengan lindungan Allah aku diberi keselamatan,
begitu juga dengan bapak presiden, tanpa satupun luka parah yang kami alami.
Setelah kami berhasil keluar, sorakan
dan tepuk tangan orang yang membuatku bak pahlawan, ratusan kamera mengejarku,
aku merasa bahagia sekali, sebagian orang menyambutku bak pahlawan, dan
sebagian lagi menyambutku bak artis mau nikah yang selalu diwawancarai
sepanjang jalan. Dengan senang hati, bapak presiden memberiku hadiah, naik haji
tiga paket yang kudapat, membuat air mata ini tidak berhentinya menangis,
kening ini tidak lepas dari tanah sebagai tanda syukurku kepada Allah. “Ya
Allah engkau memang maha adil, aku datang bersujud dirumah engkau Ya Allah”.
“ujarku”. Dengan bangganya aku berlari pulang dan memberikan kabar gembira ini
kepada orang tuaku, betapa bangganya orang tuaku. Terima kasih nak, Semoga
Allah membalas jasamu, tidak sanggup ibu membalasnya nak, cukup Allah yang
membalasnya. “ucap ibuku”. Tidak hanya aku dan orang tuaku bahagia, Monica
sahabat dekatku juga bahagia, Monica menitipkan do’a kepadaku saat di Mekkah
nanti, agar Monica bissa menyusul aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar